Senin, 28 Mei 2012

Selamat Hari Sampah

Oleh : Risdayani,ST.M.Ed, Kabid Pengendalian Dampak Lingkungan BLH KKA

Selamat Hari Sampah !!. Kata selamat yang meskipun tidak sepopuler Selamat Tahun Baru dan tidak semeriah  Gong Xi Fat Chai atau tidak seromantis Valentine’s Day yang baru berlalu, tetapi Hari Sampah merupakan suatu momen yang perlu perenungan bersama, karena sampah hadir  tepat ketika manusia hadir dengan seluruh aktivitasnya dan  selama itu pula sampah akan selalu ada. Menjemput ingatan terhadap peristiwa longsor di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwigajah, Bandung pada tanggal 21 Februari 2005 yang memakan korban jiwa ratusan orang, maka untuk mengenangnya setiap tanggal 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Sampah.

Kemudian kejadian serupa juga terulang di zona 3 TPAS Bantergebang pada tanggal 8 September 2006. Hal ini tentu menjadi catatan bagi kita untuk lebih cermat dalam melaksanakan pengelolaan sampah, sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali.

Secara umum, sampah yang diartikan sebagai bahan sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga, pertambangan, industri dan sebagainya. Menurut pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-undang ini, terdiri atas: a. sampah rumah tangga; b. sampah sejenis sampah rumah tangga; dan c. sampah spesifik.  Oleh karena itu, perlu pengelolaan sampah sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, agar tidak menjadi gangguan bagi keseimbangan alam dan menimbulkan masalah bagi lingkungan. Apabila saat ini sampah masih menjadi pembahasan yang terkait dari masalah yang ditimbulkannya, mengindikasikan bahwa pengelolaan sampah belum dilaksanakan secara tuntas.

Sampah masih diposisikan sebagai material yag harus dibuang, sehingga ketika sampah hadir pertanyaan yang sering timbul ialah kemana sampah-sampah akan dibuang?. Biasanya pengelolaan sampah hanya terbatas pada kegiatan kumpul-angkut-buang, sehingga hal ini yang akhirnya melahirkan permasalahan sampah. Jalan keluar yang sudah sering dilakukan yaitu dengan membangun Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS).

Ketika solusi penanganan masalah sampah adalah TPAS, maka permasalahan yang sering dihadapi ialah sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan akhir sampah. Meskipun di beberapa kota pembuangan sampah banyak menimbulkan permasalahan baru, misalnya protes dan kritik dari masyarakat yang tinggal di sekitar TPAS tetapi sampai sekarang alternatif itu masih dianggap menjadi jalan keluar yang dinilai layak dipertimbangkan.

Padahal masalah-masalah yang sudah terjadi di beberapa TPAS, sebenarnya cukup untuk mengindikasikan bahwa pembangunan TPAS saja belum tepat sebagai jalan keluar terhadap permasalahan sampah. Sementara itu resistensi masyarakat kepada Tempat Pembuangan Akhir Sampah selain dipicu oleh dampak jera dari peristiwa-peristiwa TPAS yang pernah terjadi, disatu pihak juga harus dimaknai sebagai indikator makin tingginya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan standar lingkungan bagi derajat kesehatan, meski dilain pihak menjadi permasalahan baru untuk pengelolaan sampah.

Bagi daerah kepulauan apalagi daerah yang baru pemekaran, kehadiran sampah dirasakan mengganggu seiring pertambahan jumlah penduduk yang berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan aktivitasnya. Kemudian penyelesaian masalah di daerah kepulauan, juga terhambat dengan geografis daratan yang tidak terlalu luas sehingga sulit untuk mendapatkan lahan yang pantas bagi pembangunan TPA.

Ketika waktu yang panjang mesti dilalui untuk mendapatkan ruang yang pantas untuk pembuangan akhir sampah, maka pertanyaannya tentu bagaimana penanganan masalah sampah sampai TPAS terwujud?. Pembakaran sampah yang dilakukan selama ini, dapat meningkatkan emisi yang memberi kontribusi terhadap perubahan iklim.

Sementara sampah organik yang ditumpuk dan dibiarkan membusuk akan menghasilkan gas metan. Efek rumah kaca gas metan lebih dahsyat daripada gas karbondioksida yaitu kekuatan gas metan dua puluh satu kali lipat kekuatan gas karbondioksida. Solusi ini bertentangan dengan aksi dunia yang justru semakin gencar menyuarakan aksi penurunan emisi terutama pasca kesepakatan copenhagen accord,  dimana Indonesia sepakat untuk ikut serta dalam aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang salah satunya ialah aksi penurunan emisi.

Untuk mencari solusi permasalahan sampah ini, perlu anjakan Paradigma (paradigm shift) dari paradigma kemana sampah harus dibuang kepada paradigma akan dijadikan apa sampah-sampah yang ada?. Anjakan paradigma pengelolaan sampah meliputi beberapa aspek yaitu kesatu, paradigma dalam memandang sampah bukan sekedar material yang harus dibuang, tetapi sampah merupakan suatu komoditi yang memiliki potensi secara ekonomi dan sosial.

Dengan memandang sampah bukan mutlak sebagai suatu sumber masalah akan menggiring pemikiran dan tindakan ke arah pengelolaan sampah yang lebih terpadu dan bernilai lebih ekonomis. Pengelolaan sampah ke arah yang bernilai ekonomis, menuntut pengelolaan sampah yang bukan hanya kumpul-angkut-buang tetapi pilah-angkut-proses.

Dalam paradigma ini, TPAS bukan lagi sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah tetapi lebih kepada Tempat Pemprosesan Akhir Sampah. Kedua, pengelolaan sampah yang  terpusat di TPAS kepada pengelolaan sampah berbasis komunitas.

Model pengelolaan sampah berbasis komunitas menghendaki sinergi peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Pemerintah mempunyai peran motivator, pembimbing dan monitoring serta stimulator fasilitator dengan market, sedangkan masyarakat berperan sebagai  inisiator, perencana, pelaksana, pengguna dan penerima manfaat. Pengelolaan sampah yang berbasis komunitas akan membentuk suatu tindakan kolektif yang mekanismenya berpilar pada tindakan seorang anggota dalam pengamatan anggota lain didalam kerangka solidaritas, gotong royong, dan tekanan sosial yang dihadapi  bersama terhadap masalah sampah.

Tindakan kolektif ini perlu dukungan dari pemerintah dengan memberi pengakuan dan fasilitas terhadap ruang gerak tindakan kolektif dikalangan kelompok-kelompok pengelola sampah yang meliputi pemilahan, penimbunan, pengangkutan hingga pengolahan sampah dan mensinergikan ruang gerak tindakan kolektif. Selanjutnya pemerintah perlu membangun instrumen finansial dan keuangan untuk pengelolaan sampah agar tercipta insentif bagi usaha kecil dan menengah dalam dinamika usaha pengelolaan sampah.

Ketiga, pengelolaan sampah menjadi agenda semua pihak, bukan melulu urusan pemerintah. Ketika urusan sampah menjadi agenda semua pihak, maka biaya pengelolaan sampah yang selama ini dianggap menjadi suatu beban biaya dan beban sosial akan menjadi suatu manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebaik dan secanggih apapun suatu teknologi tanpa keterlibatan masyarakat akan menjadi tidak bermakna, karena masyarakat merupakan penghasil atau sumber sampah. Dengan demikian, pengelolaan sampah yang menyertakan seluruh pihak akan menyentuh ketiga aspek yaitu aspek sosial, lingkungan dan ekonomi sebagai pilar pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan data-data penelitian tentang sampah, penglibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah akan lebih efektif jika  penyelesaian masalah sampah dimulai dari rumah tangga sebagai unit keluaran terkecil produsen sampah, yang saat ini belum mampu mendayagunakannya sebagai akibat dari persepsi masyarakat terhadap sampah sebagai material yang harus dibuang.

Persepsi ini akhirnya mendominasi perilaku komunitas sampai ke level bisnis dan pusat-pusat keramaian seperti pasar atau pusat pertokoan. Di daerah pesisir pantai pula, masyarakat mempunyai kebiasaan membuang sampah ke laut. Dengan demikian, sampah rumah tangga memberikan sumbangan yang besar yang berakibat secara langsung pada munculnya masalah sampah.

Teknologi pengolahan sampah skala rumah tangga sudah berkembang secara pesat, sebut saja metode sanitary landfill, mini komposter, bioreaktor mini, vermicomposting, incenerator, bak aerasi, bio filter dan masih banyak lagi tawaran terhadap teknologi yang dapat menjadi rujukan untuk menyelesaikan masalah sampah. Setiap teknologi mempunyai karakteristik dan spesifikasi masing-masing, misalnya ukuran-ukuran kuantitas, jenis bahan baku, perlakuan, perawatan khusus dan sebagainya.

Dengan demikian, meniru teknologi daerah atau negara lain secara membabi buta  akan dapat menimbulkan permasalahan baru dalam pemenuhan spesifikasinya sehingga dapat mengganggu proses secara keseluruhan yang dapat menyebabkan kegagalan. Karakter dan komposisi sampah, level skala dan pergerakan sampah  akan menentukan dalam analisis kelayakan teknis, ekonomis maupun sosial dan lingkungan. Hal ini akan berpengaruh terhadap model, skala, kelayakan ekonomi-sosial dan pilihan teknologi yang akan diterapkan dalam menangani permasalahan sampah.

Untuk mewujudkan pengelolaan sampah ke arah yang lebih ekonomis, maka perlu mengetahui karakteristik sampah dan kemampuan pemerintah dalam pengelolaan sampah secara terpadu dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat sebagai penghasil sampah seraya menegakkan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap daerah akan memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda sesuai dengan karakteristik kontekstual masing-masing. Meniru teknologi secara membabi buta, justru akan dapat menimbulkan permasalahan baru dari ketidaktuntasan adopsi teknologi tersebut. Bertindak secara lokal yang berarti perubahan dalam prioritas, suatu pencarian sumber daya dan solusi-solusi ‘asli’ daerah. Masing-masing daerah perlu mendefinisikan dan memetakan jalannya sendiri untuk mencapai hal tersebut.

Dengan karakter khas daerah kepulauan bukan tidak mungkin mewujudkan sebuah pulau untuk sampah. Why not, pulau untuk pengolahan  sampah yang terintegralistik dan memungkinkan perencanaan pengolahan sampah di daerah yang lebih terpadu untuk menuju gold in waste sebagai alternatif peningkatan Pendapatan Asli Daerah.










http://haluankepri.com/opini-/25841-selamat-hari-sampah.html

0 comments :

Posting Komentar