Kamis, 11 September 2014

Bila

Bila sampah menyelimuti gunung.
Maka keindahan akan hilang.
Bila sampah menyelimuti gunung,
Akan banyak populasi yang mati.

Langkah,
Ingin rasanya aku kembali ke alam yang indah.
Melihat,
Semua yang indah dan tak akan kulupakan.


Dan bila,
Bila semua nya sudah penuh dengan sampah.
Tidak ada lagi keindahan dan keharmonisan alam.



Jumat, 24 Januari 2014

Curhatan Sampah



Namaku adalah sampah,
aku terbuang dijalan oleh jahil nya tangan manusia.
Aku sedih,
tidak ada yang perduli dengan diriku.

aku memanglah bau.
tapi aku tidak ingin ditengah jalan seperti ini.
angkatlah aku, bawalah aku ketempat yang pantas buatku.


jangan salahkan aku,
jika kota ini banjir.
jangan salahkan aku,
jika kota ini menjadi bau.


sekali lagi,
Namaku adalah sampah.
aku bau dan aku kotor.
aku berteman dengan kuman. dan aku menjadi rumah untuk kuman.
dan sekali lagi ku katakan "jangan salahkan kami, jika kami membuat kota ini menjadi banjir"


aku hanya ingin aku dibuang pada tempatku,
aku ingin bertemu dengan teman-temanku di tempat pembuangan.

aku inginkan itu.

Sabtu, 04 Januari 2014

LEAVE NO TRACE

LEAVE NO TRACE


Foto: Dok Trashbag Community
         
          Foto (atas) di ambil tanggal 11-12-2012 Shelter di Lembah Surya Kencana – Gn. Gede Jawa Barat, Shelter ini sebenarnya ditujukan untuk ruang  beristirahat/berkumpul dengan para pendaki lain, yang kini beralih fungsi menjadi Tempat Pembuangan Sampah Pendakian.

Kurangnya wawasan konservatif yang dihadapi para pendaki Gunung Hutan khususnya di Tanah Air kita ini, telah menjadi Bom Waktu untuk masa depan kelestarian Lingkungan yang seharusnya hijau, bersih dan sehat. Dengan hadirnya Trashbag Community ini walaupun di usia yang masih muda, Trashbag Community terus mengingatkan untuk Membawa Sampah Pendakian turun kembali, tidak meninggalkan sampahnya di kawasan Hutan Gunung yang menjadi salah satu “Simpanan Kekayaan”, karena kawasan Gunung Hutan telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut maupun masyarakat luar, juga sebagai habitatnya Flora dan juga Fauna dengan keanekaragaman-nya.

Sungguhlah dramatis jika suatu lingkungan hutan gunung yang seharusnya bersih terjaga dan sehat berubah menjadi TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH PENDAKI yang Notabene nya Sebagai Pecinta Alam, “Lalu apakah ini kesalahan dari Pecinta Alam ?” Tentu tidak, ini adalah kesalahan individu-individu yang malas untuk membawa turun sampahnya kembali dari aktifitas pendakian, para pendaki yang minim pengetahuan tentang bahaya nya dampak yang di sebabkan oleh sampah yang ditelantarkan, yang tidak di kelola dengan baik. Ya.. Anda tentu memiliki jawaban anda sendiri kenapa banyak sampah yang ditelantarkan ?.



Kumpulan sampah yang terlantar di Lembah Surya Kencana G. Gede, kami angkut turun.


Dewasa ini seharusnya Penggiat pendakian Hutan Gunung menemukan kesadaran akan pentingnya kelestarian dan ketertiban serta keramahan terhadap suatu lingkungan, justru mempercepat kerusakan lingkungan, kemajuan zaman yang tidak di ikuti dengan kedewasaan pola pikir berwawasan luas, menjadikan Kumpulan sampah-sampah plastik setinggi 50cm pun kerap dijumpai, juga sampah bungkus-bungkus permen, bungkus biscuit/wafer, hingga botol minum plastik sekali pakai sering pula kita lihat di jalur pendakian dan sampai ke sudut-sudut jalur pendakian Gunung.

Khayal memang jika berbicara tentang Sampah tanpa adanya kesadaran untuk saling mengingatkan Jangan Menelantarkan Sampah Sembarangan di Gunung (Leave No Trace), dan tanggung jawab yang terliput dalam aksi nyata dari setiap individu maupun kelompok untuk menggalakan Aksi Bersih Sampah Gunung. Walaupun pada praktek bersih-bersih sampah gunung tidak efektif, namun masih tetap mengandung nilai positif yang berdampak langsung untuk Lingkungan itu sendiri.

Karena, bila terjadi penurunan kualitas terhadap lingkungan Hutan Gunung Indonesia yang disebabkan oleh Sampah Anorganik maka itu adalah 100% (seratus persen) tanggung jawab individu-individu yang melakukan kegiatan alam bebas atau pendakian karena menelantarkan sampah nya. [dhika]


Rabu, 27 Maret 2013

Kopi Darat Papandayan

Seperti mimpi rasanya, akhirnya keinginan Saya untuk naik gunung pecah telor juga hihi, akhirnya Saya berhasil menginjakkan kaki lebih tinggi, demi lebih mendekat pada Yang Maha Tinggi, Syukur Alhamdulillah.

Sempat galau sebenarnya, khawatir nda jadi berangkat karena kesulitan mendapat ijin Papa untuk perjalanan ini, alasannya cukup masuk akal, hujan-licin-bahaya. Alasan Mama lebih “nyubit” lagi, ntar aja kalau udah punya suami naik gunungnya ama suami. Nasib emang, jadi anak perempuan satu-satunya bungsu pula, mosok naik gunung aja nunggu punya suami dulu. Hadeuh (tepok jidad). Tapi dengan modal yakin saja, Saya tetap menyiapkan kebutuhan perjalanan, dan keajaiban itu datang juga, Saya diperbolehkan berkat kalimat sakti,
“Aku butuh Ridho.., yakin aja aku nda papa, kan ada Allah Yang Melindungi, La hawla wala quwwata…“

Jumat malam sekitar jam 22.00 WIB , 8 Februari 2013 kami semua berkumpul di terminal Lebak bulus. Total seluruh rombongan ada 21 orang termasuk Teamnya mas Okto, Team Kura-kura Adventure, sedangkan Kompasianer yang ikut dalam perjalanan ini ada empat orang, Saya, mba Indri, mas Okto, dan Pak Arifin Basyir. Luar biasa semangat Pak Arifin Basyir, diusianya yang akan menginjak 61 tahun beliau sangat antusias mendaki gunung Papandayan. Wooww (koprol ampe puncak) :D Pada perjalanan ini Saya juga bertemu sahabat baru, Dewi Murni, mahasiswi Uhamka yang memiliki hobi mendaki, rupanya ia tidak termasuk dalam team kura-kura, ia mendapatkan info pendakian Papandayan ini melalui twitter, bersama temannya Afnan ia bergabung bersama kami. Ada juga Mas Akbar yang ikut bergabung bersama, menurut Mas Okto iapun mendapatkan info pendakian hanya dari media sosial, facebook. Seru, jadi rame…

Sekitar jam 2 dini hari, kami sampai di Cisurupan, Garut. Kami melanjutkan naik mobil bak terbuka untuk menuju Pos Pendakian Gunung Papandayan. Wuaduh jalan yang dilalui mobil ini sungguh tidak bersahabat bagi pantat-pantat kami dalam mobil bak itu. Terlalu banyak lubang, jelas bukan jalanannya yang rusak, tapi hati Saya yang rusak bila tidak bisa menikmati pengalaman ajrut-ajrutan tersebut. :D  dalam perjalanan menjelang fajar itu, kami menyaksikan siluet gunung Cikuray yang benar-benar cantik. Sayang tidak difoto, karena kondisi ajrut-ajrutan tersebut.
Di pos pendakian kami menyempatkan diri makan gorengan, ke toilet, ke mushala dan persiapan mendaki lainnya. Kehadiran matahari pagi menandai awal pendakian ke puncak gunung Papandayan. Jalan berbatu sudah menjelma karpet merah menyambut kami. Sungguh luar biasa ketika sampai di kawah (nda tau nama kawahnya :D), sisa-sisa letusan gunung masih terlihat jejaknya. Kawah-kawah itu mengeluarkan asap belerang di sekeliling perjalanan. Saya merinding, memikirkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran yang hadir begitu saja mengacak-acak perasaan , bagaimana nanti ketika gunung-gunung ini menjadi seperti bulu-bulu yang dihambur-hamburkan? Bahkan gunung-gunung itu tidak diam pada tempatnya, dia bergerak… apa keadaan Saya ketika itu terjadi? #jeduuung benjol seketika!
Di tengah perjalanan saya bertemu dengan seorang bapak yang berusaha mencongkel batu untuk disingkirkan dari jalur pendakian, untuk memudahkan pendaki katanya. Kami juga bertemu dengan seorang Ibu yang memiliki kebun di atas Gunung. Saya sempat mengobrol sebentar ketika ibu itu beristirahat di sebuah batu, ia bilang kalau mau saya boleh memetik hasil tanamannya kentang, kol dll, wuaduh berat bu bawanyaah :D Ibu itu memiliki anak 2, yang satu sudah berkeluarga dan yang satu masih sekolah. Seminggu sekali beliau menengok kebunnya bersama suaminya, ketika saya tanya di mana si bapak, Ibu itu bilang suaminya sudah lebih dulu naik ke atas. Ada juga orang-orang yang mengendarai sepeda motor ke atas gunung, entah tujuannya apa ke atas, kalau menurut pak Arifin mereka ingin membuat jalur pendakian sepeda motor, jadi nantinya kawasan ini menjadi tempat wisata motocross juga. Huhuee kreatif.. tapi kalau Saya pribadi lebih suka gunung itu tetap menjadi wisata alami, tanpa kuda-kuda besi, hanya kaki-kaki saja yang mendaki…

Dalam perjalanan, Pak Arifin memberikan tips untuk membasahi masker dengan air agar nafas lebih segar dan menghindari pengaruh buruk yang mungkin timbul karena asap belerang yang keluar dari kawah. Pak Arifin ini sungguh motivator yang membuat Saya malu ketika ingin mengeluh karena kelelahan mendaki. Saya dan mba Indri sudah ngos-ngosan dalam perjalanan menuju Pondok Selada, tapi Pak Arifin sudah jauh duluan sampai hutan mati. Beliau tinggal di kaki gunung salak Bogor, sudah terbiasa sepertinya dengan udara dingin, beliau juga mengaku sewaktu muda dahulu juga suka mendaki gunung. Wooww. Pantas saja beliau terlihat santai dan sederhana dengan perlengkapan mendakinya. Setiap orang memiliki keunikannya tersendiri, saya bersyukur diberi kesempatan untuk mengenal orang-orang yang luar biasa seperti Pak Arifin, mba Indri, mas Okto, Dewi Murni dan semua teman-teman kura-kura adventure lainnya. Melalui interaksi dengan manusia, kita menemukan kebesaranNya. Subhanallah…
Perjalanan mencapai hutan mati benar-benar membuat saya ngos-ngosan. Perjalanan mendakinya banyak bonusnya, untung nda kehabisan nafas, untung udara gratis di hirup, untung aje dah bawaannya. Tapi kelelahan mendaki terbayar cash nda pake ngutang ketika melihat eksotisme hutan mati. Subhanallah. Semua pohon-pohon itu bekas terbakar akibat letusan gunung. Mudah saja bagiNya memusnahkan kehidupan…
Sebelum dzuhur kami sudah mencapai Pondok Selada, areal padang rumput seluas 8 Ha, di tempat ini Mas Okto bersama teamnya membangun tenda-tenda untuk kami bermalam. Banyak pendaki lain yang juga berkemah seperti kami, Saya kira kalau musim hujan begini pendaki tidak banyak, tapi ternyata musim hujan tidak menyurutkan niat mendaki mereka. Saya bersama tiga orang perempuan dalam pendakian ini benar-benar seperti princess (meminjam istilah team kura”), makan tinggal makan tidur tinggal tidur, nda perlu repot memasak apalagi membangun tenda. Huehueee. Setelah makanan matang, kamipun makan bersama di atas plastik :D
Pondok Selada yang menjadi tempat kami berkemah berada di ketinggian 2.288 meter di atas permukaan laut, udaranya dingin sekali. Hehee… saya kira saya tidak akan bertahan melewati malam hingga subuh di gunung Papandayan, tapi syukur Alhamdulillah walaupun semalaman menggigil di dalam tenda Saya masih bisa menyaksikan kembali matahari terbit. Sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan matahari terbit dari atas gunung. Namun menyaksikanNya dari Pondok Selada saja sudah membuat Saya bersyukur bukan buatan.
Sekitar jam tujuh pagi kami melanjutkan perjalanan berikutnya menuju Puncak Tegal Alun, cukup melelahkan. Jalurnya mendaki terus, juga sempat melewati bebatuan yang harus hati-hati didaki karena semalam hujan khawatir licin dan tergelincir. Tapi Subhanallah, semua lelah dan kepayahan hilang seketika melihat hamparan bunga Edelweis.
Di tengah hamparan bunga-bunga Edelweis ini Saya banyak menemukan aktifitas laba-laba yang sedang membuat jaringnya. Subhanallah… benar-benar pagi yang sempurna.
Sekitar jam 11.30 kami berkemas untuk turun gunung. Semua perlengkapan telah dibereskan, dan sampah-sampah dikumpulkan di dalam plastik untuk dibawa ke bawah. Namun sayangnya, ketika kami berjalan, kami melihat pendaki lain yang membakar sampahnya di areal Pondok Selada. Kaleng-kaleng sampah itu apa akan habis terbakar? Alam memang tidak bicara berbahasa manusia, namun bahasa alam akan lebih sakit untuk dipahami manusia, jika manusia tidak pandai memelihara alamNya.
Kami menuruni gunung melalui jalur yang lebih landai, tapi tetap saja saya dan mba indri menjadi pendaki yang bontot sampai hehee… bersyukur ada mas Okto yang dengan sabar menunggui siput berjalan.
Keseluruhan perjalanan ini sungguh luar biasa bagi Saya. Ini kali perdana Saya mendaki, bersama team yang benar-benar belum pernah Saya kenal sebelumnya, hanya bermodalkan keyakinan saja semua akan baik-baik saja selama niat telah diluruskan dalam kebaikan. Ini kopdar yang luar biasa, jika ada kopdar selanjutnya seperti ini Saya diajak lagi yaaa… :)
_________
Syukur Alhamdulillah.
Terimakasih setulusnya untuk mba Indri yang sudah mengajak Saya kopdar di gunung, nda nyangka karena kenal di kompasianival jadi berlanjut persahabatan sampai seperti memiliki saudara perempuan. Terimakasih untuk Mas Okto yang sudah begitu sabar dan memanjakan princes-princes hehee, Pak Arifin dengan keteladanannya, Dewi yang melengkapi kesempurnaan mendaki kami, seluruh team kura-kura yang menurut saya sama sekali nda kura-kura, sebenarnya mereka pandai mendaki cepat namun karena membawa kura-kura seperti saya jadinya kura-kura beneran deh :D terimakasih yaa semuanyaa dan terimakasih juga kepada alam gunung Papandayan yang telah mengijinkan Saya mengunjungi. Sungguh begitu banyak pelajaran dari karunia penciptaanNya.
Salam lestari. [Ria]
Note : Artikel ini juga diterbitkan di sini

Sabtu, 02 Juni 2012

Opsih Sampah TNGGP